Untuk teman-teman yang sudah sering melakukan transaksi jual beli saham, tahukah teman-teman bahwa faktor psikologis sangat berperan bagi kita dalam trading saham.
Ketika kita melihat pergerakan harga yang sangat cepat naik turun, ataupun ketika kita melihat portfolio kita yang sedang rugi atau untung, terkadang dapat mempengaruhi mental kita sehingga kita melakukan keputusan trading yang didasarkan emosi, bukan logika. Tidak sering pula kita melanggar trading plan yang sudah kita buat karena kita panik melihat volatilitas dari market sendiri.
Dalam ilmu CFA (Certified Financial Analyst), ada satu pembahasan yang mendalami bagaimana psikologis yang sering dilakukan oleh investor retail dan hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi trading kita.
Jika anda mengalami kondisi di mana anda sudah membeli saham seharga 1000 rupiah, dan harga sahamnya sekarang menjadi 1200 rupiah, kemudian anda bertanya kepada orang-orang yang anda anggap ahli dalam saham, di mana 50% dari mereka berkata bahwa saham yang anda beli berpotensi naik menjadi 1400 rupiah dan 50% sisanya berkata saham yang anda beli berpotensi turun menjadi 1000 rupiah, maka keputusan apakah yang akan anda ambil?
Apakah anda akan menjual saham anda di harga sekarang (1200) dan merealisasikan keuntungan anda?
Ataukah anda akan hold saham anda dan berharap harga saham akan naik ke 1400?
Kebanyakan dari investor retail akan memilih untuk menjual saham mereka saat itu juga. Kenapa hal ini bisa terjadi ? Karena investor retail pada umumnya memiliki psikologis loss averse.
Loss Averse sendiri adalah psikologis di mana investor takut untuk menghadapi kerugian karena perasaan jika merugi sangat besar pengaruh negatifnya daripada perasaan positif ketika mendapat keuntungan.
Dalam contoh case di atas, investor retail akan memilih menjual karena mereka takut jika harga saham kembali ke 1000 maka mereka akan kehilangan keuntungan 200 per lembar saham. Rasa sakit investor yang menerima kerugian 200 rupiah per lembar saham lebih besar daripada rasa bahagia yang didapat jika investor untung 200 rupiah per lembar saham.
Demikian pula halnya jika investor retail sedang mengalami floating loss (lagi rugi) dalam saham-saham yang dipegangnya. Mereka enggan untuk menjual saham-saham yang sedang merugi karena rasa sakit yang didapatkan ketika merealisasikan kerugian begitu besar bagi mereka.
Itulah sebabnya sering dijumpai di portfolio investor retail , saham-saham yang sedang merah ditahan dan tidak dijual, sedangkan saham yang hijau segera mereka jual / realisasikan.
Kesalahan umum investor retail adalah menahan saham buruk terlalu lama dan menjual saham yang bagus terlalu cepat.
Selain itu, dalam Financial Behaviour juga kita akan diperkenalkan tentang bias.
Bias sendiri berarti pola pikir yang irasional yang disebabkan karena pandangan-pandangan yang tidak objektif.
Ada berbagai jenis bias dalam trading saham :
1. Bias konfirmasi = Hanya mau mendengar apa yang ia mau dengar
Contoh dari bias konfirmasi ini adalah misal ketika Pilpres di tahun 2019 kemarin, pendukung pak Jokowi cenderung hanya mau mendengar berita-berita yang positif tentang Pak Jokowi dan tidak suka mendengar berita positif tentang pak Prabowo. Demikian juga sebaliknya dengan pendukung Pak Prabowo yang tidak suka mendengarkan berita positif tentang lawan politik idolanya.
Ketika kita sudah memegang suatu saham dan kita berharap saham tersebut naik, terkadang investor tidak suka membaca berita negatif dari saham yang sedang dipegang dan cenderung mengabaikan berita tersebut, karena investor ini hanya mau mendengar berita baik dari saham yang sedang dipegang.
2. Bias konservatif = tidak mau menerima informasi yang baru karena hanya mau melihat atas history yang lama
Contoh dari bias konservatif adalah misal kita pernah memegang suatu saham, dan karena suatu kasus harga saham yang kita pegang ini turun tajam sebanyak 50% dan kita cutloss. Beberapa tahun kemudian, perusahaan ini merubah manajemennya, merubah strategi bisnisnya dan ketika kita membaca berita tersebut, kita tidak mau mempercayainya dan tetap mencap bahwa perusahaan ini buruk karena dulu kita pernah merugi memegang saham tersebut.
3. Bias anchoring = bias yang berpatokan akan suatu nilai tertentu
Contoh dari bias anchoring adalah misal kita mempunyai saham di harga rata-rata Rp 7.000,-
Ternyata saham yang kita pegang turun menjadi Rp 5.000,- dan kita mempunyai pola pikir bahwa karena harga beli di Rp 7.000,- maka apapun yang terjadi tidak akan dijual sebelum harga sahamnya naik di atas Rp 7.000,-. Hal ini sangatlah konyol karena market sendiri tidak mengetahui kita sedang pegang saham di harga rata-rata berapa, bisa saja harga saham ini diturunkan menjadi Rp 2.000,-
Karena kita terlalu berpatokan dengan harga beli, kita menjadi tidak logis dan tidak mempertimbangkan faktor lainnya sehingga harga saham dari Rp 7.000,- bisa terseret hingga ke level Rp 2.000,-.
4. Bias overconfidence & self control = bias di mana menganggap diri sendiri terlalu hebat
Bias ini umumnya terjadi pada investor pemula, di mana ketika pertama kali mereka membeli saham dan profit, maka mereka akan menganggap bahwa investasi saham sangatlah mudah. Hal ini membuat investor saham lupa diri dan ketika mereka salah ambil posisi saham, mereka tidak mau cutloss karena mereka terlalu percaya bahwa saham apapun yang dibelinya akan naik.