People’s Bank of China yang merupakan bank sentral China memperingatkan bahwa ada risiko keuangan di negara tersebut. Hal ini termasuk dalam ‘osilasi’ di pasar saham dan obligasi serta potensi gagal bayar oleh perusahaan real estate.
Zoulan, Direktur Departemen Pasar Keuangan People’s Bank of China mengatakan bahwa tekanan akan dialami oleh perusahaan skala kecil hingga besar. Mereka akan mengalami kesulitan pembiayaan dan risiko gagal bayar cukup tinggi.
Faktor lain yang menyebabkan anjloknya saham China adalah pandemi covid-19 dan tingginya volatilitas aliran modal internasional. Tidak hanya itu, ada resiko lain juga mulai dari tekanan kenaikan harga rumah di beberapa kota, potensi gagal bayar utang dan risiko lain di antara bisnis real estate menengah/kecil memiliki leverage tinggi.
Tahun 2021 ini pemerintah China menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6%. Para ekonom mengatakan bahwa target tersebut dinilai konservatif namun memberikan kemampuan pada pemerintah untuk mengatasi masalah jangka panjang seperti penumpukan hutang.
Berdasarkan laporan dari Allianz, pada akhir kuartal 2020 rasio utang terhadap PDB China naik menjadi 285%. Ini artinya melonjak dari rata-rata 251% antara tahun 2016-2019.
Setelah beberapa perusahaan milik negara China gagal membayar hutangnya di tahun lalu, pemerintah telah serius menanggapi kemungkinan lonjakan rasio hutang tersebut. Seharusnya kondisi ini jarang terjadi pada perusahaan yang diyakini investor mendapat dukungan implisit dari pemerintah.
Di pasar perumahan, China telah berusaha untuk membatasi spekulasi . Menurut Reuters, Harga rumah baru melonjak cepat dalam lima bulan pada bulan Februari. Pada konferensi pers hari Kamis, People’s Bank of China menyatakan bahwa kebijakan moneter akan tetap stabil dan mendukung. Tidak ada rincian spesifik mengenai bagaimana penanganan risiko keuangan tersebut.
Sumber: www.cnbcindonesia.com