Suntikan dana investasi pemerintah sebagai program Pemulihan Ekonomi Nasional belum membuat PT Garuda Indonesia Tbk. terbang tinggi.
Awal Februari lalu, setitik harapan muncul untuk PT Garuda Indonesia. Akhirnya perseroan menyelesaikan proses pencairan dana dari hasil penerbitan Obligasi Wajib Konversi sebesar Rp 1 triliun dari pemerintah.
Emisi tersebut merupakan realisasi dari program Pemulihan Ekonomi Nasional yang dijalankan pemerintah. Harapannya untuk memperbaiki posisi keuangan maskapai BUMN PT Garuda Indonesia tersebut.
Penerbitan Obligasi Wajib Konversi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.06/2020. Akhir November 2020 lalu, maskapai dengan plat merah tersebut juga sudah mendapatkan restu dalam rapat umum pemegang saham luar biasa untuk menerbitkan Obligasi Wajib Konversi atau yang dikenal dengan mandotary convertible bond tersebut.
Secara keseluruhan, PT Garuda Indonesia akan menerbitkan Obligasi Wajib Konversi dengan nilai maksimum sebesar Rp 8,5 triliun dan tenor maksimum 7 tahun, secara bertahap hingga 2023 mendatang.
Melalui keterangan resmi, Irfan Setiaputra selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia memaparkan bahwa dana hasil penerbitan Obligasi Wajib Konversi sebesar Rp 1 triliun yang sudah ia selesaikan proses pencairannya pada pertengahan kuartal I tahun ini, tentu akan menjadi momentum tersendiri bagi PT Garuda Indonesia untuk terus memperkuat upaya pemulihan kinerja yang sejalan dengan kinerja fundamental operasional perusahaan yang secara konsisten terus menunjukkan pertumbuhan yang positif.
Dalam hitungan bulan, dana tersebut telah habis untuk memenuhi berbagai kebutuhan operasional perseroan.
Irfan juga menjelaskan bahwa dana talangan untuk perseroannya yang cair pada awal 2021 lalu sebesar Rp 1 triliun sudah habis untuk membayar avtur hingga biaya kebandaraan. Penggunaan dana talangan dikhususkan untuk kebutuhan operasional perusahaan yang sedang berjalan.
Irfan juga mengatakan bahwa dana talangan sebesar Rp 1 triliun sudah habis hanya untuk membayar Pertamina, Angkasa Pura I, dan Angkasa Pura II. Dana tersebut tidak untuk membayar hutang. Ini murni untuk current kan ia operasi setiap bulan, itu harus dibayar.
Berdasarkan ketentuan perjanjian penerbitan Obligasi Wajib Konversi, PT Garuda Indonesia dilarang menggunakan dana talangan untuk membayar hutang.
Irfan menolak kabar yang beredar bahwa dana talangan juga digunakan untuk membayar kekurangan gaji pilot maupun awak kabin yang dipotong sejak 2020 lalu.
Keuangan PT Garuda Indonesia pada kuartal II/2021 semakin babak belur. Seperti paparan Kementerian BUMN di DPR pada Kamis (3/6/2021) lalu, PT Garuda Indonesia menanggung rugi hingga sebesar US$ 100 juta setiap bulannya.
PT Garuda Indonesia harus mengeluarkan biaya sebesar US$ 150 juta, padahal pendapatan PT Garuda Indonesia hanya sebesar US$ 50 juta. Hutang PT Garuda Indonesia, termasuk kepada lessor untuk menyewa pesawat pun membengkak hingga sebesar Rp 70 triliun.
Optimisme manajeman pada akhir tahun yang yakin bahwa keuangan PT Garuda Indonesia akan mengalami perbaikan sepanjang 2021 ini menyusut. Target perusahaan mengejar pendapatan sebanyak 50% dari total 2019 lalu sulit terpenuhi karena berbagai kondisi yang tidak terduga.
Pada Januari hingga Maret lalu, PT Garuda Indonesia mengalami penurunan jumlah penumpang karena adanya aturan Swab Antigen, pengetatan PSBB, larangan mudik, hingga munculnya strain baru cirus Covid di India dan Eropa.
Ditambah juga, awal tahun menjadi masa sepi pergerakan atau low season untuk bisnis pariwisatan dan turunannya.
Irfan mengatakan bahwa pandemi ini memang hit-nya gila. Penumpang Garuda Indonesia pernah drop sampai sebanyak 90%. On average tahun lalu penumpang Garuda Indonesia hanya sebanyak 60%. Kenapa 60%? Karena pada Januari, Februari (berjalan normal), namun pada Maret pandemi.
Penurunan jumlah penumpang selama Januari hingga Maret 2021 lalu berimbas terhadap pencairan dana Pemulihan Ekonomi Nasional untuk PT Garuda selanjutnya.
Wakil Menteri BUMN II, Kartiko Wirjoatmodjo mengungkap bahwa PT Garuda wajib mencapai key performance indicator sebelum menerbitkan Obligasi Wajib Konversi dalam rangka pengucuran dana Pemulihan Ekonomi Nasional. Emisi Obligasi Wajib Konversi tahap I, bercermin pada KPI PT Garuda yang mulai tumbuh pada Okober-Desember 2020 lalu.
Kartiko juga memaparkan bahwa tetapi pada Januari-Maret 2021 ada PPKM dan larangan mudik yang kemudian drop dan KPI tidak tercapai.
Hal tersebut disebukan Kartiko sebagai penyebab Obligasi Wajib Konversi PT Garuda tahap berikutnya tidak bisa ditarik karena perseroan tidak memenuhi persyaratan pencairan. Dalam kondisi tersebut, Kartiko mengatakan bahwa Kementerian BUMN akan mengembalikan kebijakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional PT Garuda kepada Kemenkeu.
Saat PT Garuda sedang berjibaku dengan turbulensi kinerja keuangan, PT Krakatau Steel Tbk. yang juga mendapatkan investasi pemerintah sebagai bagian program Pemulihan Ekonomi Nasional justru mampu membalikkan kinerja keuangan yang sudah merugi selama 8 tahun.
Pada akhir 2020 lalu, perusahaan dengan kode saham KRAS tersebut menerbitkan Obligasi Wajib Konversi sebesar Rp 2,2 triliun. Investor dari emisi tersebut adalah PT Sarana Multi Infrastruktur yang mendapatkan mandat dari Kementerian Keuangan.
Efisiensi
Saat itu, Manajemen Krakatau Steel mengklaim dukungan investasi pemerintah akan sangat bermanfaat untuk mempertahankan kegiatan produksi dan usaha pada sektor hilir. Dengan begitu, suntikan tersebut diharapkan memberikan dampak yang cukup besar serta dapat meningkatkan permintaan produksi dan mempengaruhi penggunaan pasokan dari sektor hulu.
Tanda-tanda perbaikan kinerja muncul dari Krakatau Steel. Perusahaan produsen baja Badan Usaha Milik Negara tersebut membukukan laba tahun berjalan yang bisa diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp US$ 23,67 juta atau setara dengan Rp 326 miliar pada 2020 lalu.
Sebenarnya, Krakatau Steel membukukan penurunan pendapatan secara year on year pada 2020 lalu. Nilai yang dikantongi menciut sebanyak 4,7% dari US$ 1,42 miliar pada 2019 menjadi sebesar US$ 1,35 miliar per 31 Desember 2020 lalu.
Kendati demikian, perseroan juga mampu menekan beban pokok pendapatan hingga menciut sebanyak 13,44% secara tahunan. Dengan begitu, laba bruto yang dikantongi melesat sebanyak 721,66% menjadi US$ 138,78 juta pada 2020 lalu.
Sejalan dengan inisiatif efisiensi, Krakatau Steel menurunkan biaya operasional sebanyak 41% yoy dari Rp 4,8 triliun pada 2019 lalu menjadi Rp 2,8 triliun pada 2020. Penurunan ini terjadi untuk biaya energi sebanyak 46% menjadi Rp 295 miliar, biaya utilitas sebanyak 27% menjadi Rp 564 miliar.
Silmy Karim selaku Direktur Utama Krakatau Steel mengklaim kunci dari keberhasilan perseroan membalikkan rugi bersih menjadi laba yaitu cepat dalam merespons atau mengambil keputusan pada setiap masalah dan peluang.
Buaday tersebut, secara langsung dan tidak langsung membuat internal Krakatau Steel mudah dalam mengeksekusi arahan dan rencana, lanjut Silmy.
Silmy juga menyebutkan bahwa perseroan memang fokus melakukan efisiensi dan meningkatkan produktifitas. Ada beberapa kebijakan yang ditempuh oleh Krakatau Steel.
Salah satunya adalah dengan mengontrol EBITDA secara ketat. Bahkan, Krakatau Steel ke depannya akan melakukan kontral secara harian.
Silmy memaparkan bahwa ia pangkas biaya yang tidak penting dan berdampak langsung kepada performance. Ia rapikan operasi agar tidak banyak kendala, sehingga biaya produksi rendah.
Manajemen Krakatau Steel mengklaim tren perbaikan kinerja berlanjut pada kuartal I/2021 lalu. Hal tersebut tercermin dari laba bersih sebesar Rp 329 miliar per akhir Maret 2021.
Kamis (3/6/2021), Silmy Karim selaku Direktur Utama Krakatau Steel mengungkapkan bahwa kinerja perseroan juga menunjukkan perbaikan sebanyak 77% karena adanya peningkatan EBITDA secara signifikan dari Rp 429 miliar pada kuartal I/2020 lalu menjadi sebesar Rp 758 miliar pada kuartal I/2021.
Dari sisi arus kas, Krakatau Steel membukukan kenaikan arus kas dari aktivitas operasi sebanyak 138,4% menjadi Rp 339,8 miliar pada kuartal I/2021 dari Rp 142,5 miliar di periode yang sama tahun 2020 lalu. Peningkatan arus kas operasi ini terutama karena kenaikan penerimaan kas dari pelanggan sebanyak 48,6%.
Hal ini menyebabkan peningkatan posisi kas dan setara kas Krakatau Steel menjadi sebesar Rp 1,7 triliun dibandingkan dengan posisi kuartal I/2020 lalu yang sebesar Rp 911,3 miliar, serta menunjukkan kemampuan pengelolaan kas perseroan yang membaik.
Silmy menjelaskan bahwa Krakatau Steel mampu melanjutkan tren positifnya pada kuartal I/2021 setelah meraih laba pada 2020 lalu. Ia menargetkan peningkatan pendapatan menjadi sebesar Rp 28 triliun pada 2021 atau meningkat sebanyak 43% dibanding dengan realisasi 2020.
Terkait dengan target peningkatan penjualan 2021 ini, Krakatau Steel terus mengembangkan produk-produk hilir bagi konsumen.
Silmy juga mengatakan bahwa transformasi dan restrukturisasi yang ia jalankan adalah sebuah program yang berkelanjutan. Segala potensi perbaikan akan terus ia kejar.
Sumber: market.bisnis.com